Header Ads

test

menertawakan kepecudanganku



Hari itu, entah kali keberapa juta aku memandang keindahanmu. Masih seperti symponi nada minor ketika senyum itu terukir. Aku bahkan tak tahu, apakah lampu neon 40 watt menerangi pandanganmu, sebab ku sendiri tak yakin kau melihatku dengan separuh mata. Aku sungguh ingin menyapa, sekedar menanyakan bagaimana cara eisntein merumuskan metode gilanya tentang momentum cahaya atau tarian nakal penari malam menyambut perang bathin yang terus menerus bergejolak dalam bathinnya. Dan malam itu serupa ketololan saat kupejamkan mata hanya untuk memandangmu.

masih berupa takdir yang kelam, bahkan jijikmu kepadaku bagai angin yang menampar keras. Ludahmu manis mengalir di wajahku dan kusiapkan sebuah senyum yang tak pernah habis. Dan aku menunggu matamu yang jernih dapat mengerti apa yang terjadi. Ya, kau sangat mengerti hingga memaksakan sedikit pengertian, bahwa mengingat kita ternyata hanyalah adegan memotong kuku hitam. Bulan pun bertanya, bagaimana rasa sakit yang ku rasa?

Malam tu kembali aku menertawakan segala bnetuk ketololan dan kepencundangan dalam diri ini. Akupun tahu bahwa semua harus bisa berjalan, tapi apakah menjadi apa adanya? Aku tidak berharap untuk dimengerti, sebab aku mengasihimu dengan terlalu. Bahkan saat kau memanggilku dengan cahaya remang. Oh, sesaat tadi aku menahan goyah, betapa tanah yang terpijak terbelah. Bukan, bukan karena kau telah menolak dan meludahiku, tapi karena masih kulihat kau dengan kotak kaca bebalmu, menjadi asing di dirimu. Dan masih saja kau candui aku dengan keindahan wajahmu. Meninggalakan sebuah rasa yang paling aku benci. Sebuah perasaan yang membuat jdai gila seperti ini.

6 comments: